Motor Antik Club Indonesia (MACI)
SLOGAN ‘Jangan Mengaku Kaya Sebelum Punya Motor Tua’ sudah mendarah daging diantara anggota Motor Antik Club Indonesia (MACI) Malang. Ungkapan tersebut bahkan seolah menjadi tantangan bagi mereka. Maklumlah, menjaga motor antik agar tetap sehat dan bisa menggilas jalanan memang bukan pekerjaan mudah.
Untuk memiliki motor antik tidaklah sesulit memepertahankan kuda besi itu agar tetap bisa “hidup”. Toni, pengendara motor buatan Inggris Matchless keluaran tahun terakhir 1966 mengakuinya. Pria berambut plontos ini mengaku bisa mendapatkan motor hitamnya itu dengan harga sekitar Rp 8,5 juta dalam bentuk potongan mesin ter-”mutilasi” berada dalam karung terpisah dengan kerangkanya.
Menariknya, dia memburu motor yang kemudian berubah nama menjadi Norton itu diantara reruntuhan gempa Jogjakarta pada tahun 2006 silam. ” Waktu itu masih tertutup debu dan berbentuk potongan mesin dalam karung. Saya butuh waktu hampir empat bulan untuk menghidupkan Matchless ini lagi,” ungkapnya kepada Malang Post kemarin.
Kejadian menarik juga dikatakan Andy pengendara NSU hitam keluaran tahun 1966. Banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk mempertahankan agar motor milik seorang Pastor di jaman Belanda dulu tetap mengeluarkan suara.
”Itu girnya sudah rusak, saya cari dari tiga minggu ini girnya tak bawa terus belum dapat juga. Rencananya mau cari di Klaten minggu depan,” kata Andy sambil menunjukkan gir roda belakang motornya yang disimpan dalam tas punggungnya.
Mahalnya biaya perawatan tentu juga berimbas pada mahalnya harga motor antik milik mereka. Tapi tidak semua pemilik motor rela melepaskan motor antiknya walaupun di tawar dengan harga berlipat dari harga pembelian.
Toni mengaku Matchless hitamnya sudah ada yang menawar hingga Rp 20 juta, sementara NSU Andy ada yang sudah ngenyang dengan harga Rp 25 juta. ” Wah ya tidak semata-mata harganya oke saya jual, motor antik ini karya seni. Kalau Fellnya tidak cocok ya tidak akan saya jual,” ujar Toni.
Sering-sering berkumpul dengan komunitas lain sangat memudahkan anggota MACI untuk mendapatkan formasi utamanya tentang keberadaan motor antik dan juga onderdil serta variasi asli dari motor mereka. Di Malang, jadwal MACI berkumpul dilakukan dua kali dalam seminggu. Pada Jumat malam dengan lokasi di depan Patung Butho Stasiun Kota Malang dan pada Minggu pagi di depan kantor Pendopo Kabupaten Malang disekitar Alun-Alun. ”Agenda tetap ada dua tiap minggu, untuk jamboree nasional ada setiap tahun. Kota Malang pernah jadi tuan rumah di tahun 2002 lalu,” lanjutnya.
Dewo menyebut anggotanya berjumlah ratusan sebab sekali tergabung menjadi anggota mereka enggan melepaskan keanggotaan karena tetap cinta dengan motor antik. Walaupun untuk memiliki motor antik ada satu syarat yang cukup berat, yakni mereka mengerti tentang motor mereka sendiri. ”Jika tidak mengerti motornya ya susah kalo mogok. Semua anggota MACI juga mekanik,” tandasnya. (dyah ayu pitaloka/nug)
BANYAK alasan unik mengapa anggota MACI Malang lebih memilih mengendarai motor tua mereka dibanding motor keluaran terbaru dengan harga yang relatif hampir sama.
Betapa tidak, rata-rata harga motor antik yang tidak berproduksi lagi berharga diatas Rp 20 juta, harga yang sama dengan sebuah motor sport 4 tak keluaran pabrikan Jepang saat ini. Tapi rasa kebanggaan yang berbeda menjadi pemikat bagi pemilik motor antik ketika mengendarai motor masing-masing.
Ugeng Waskito Dewo ketua MACI Malang mengaku ada rasa bangga yang berbeda ketika berada di atas motor Matchless tahun 1966 miliknya. Selain ukuran yang besar, pandangan mata kagum dari pengguna jalan sering mampir ke motor tuanya yang didapat dari Irian Jaya itu. ” Rasanya bangga banyak yang iri melihat motor saya,” kata pria yang akrab disapa Dewo ini.
Lain lagi dengan Supriadi, anggota MACI dengan rambut yang telah memutih ini mengaku motor Jawa keluaran tahun 1971 miliknya sudah banyak memakan tabungan hari tuanya. Supriadi mengaku habis-habisan untuk menghidupi motor produk negara yang kini sudah pecah Cekoslovakia agar tetap menggelinding di jalanan. ” Cari onderdilnya itu sangat susah, tapi lega ketika motor saya oke dijalan,” katanya terkekeh.
Walaupun berusia lanjut, motor milik MACI tidak bisa dipandang remeh. Setiap tahun anggota MACI Malang yang terbentuk di tahun 1994 ini harus mengikuti jamboree MACI Nasional yang lokasinya berpindah-pindah. Dari Jogjakarta, Bandung Jakarta bahkan Lampung sudah dijelajahi oleh roda-roda motor yang sudah pantas menjadi bagian dari sejarah masa lalu itu.
”Minggu depan kami sedang menyiapkan untuk pergi ke Klaten, kemudian tanggal 30 juga ada undangan dari MACI Bojonegoro. Kondisi motor harus selalu siap,” sambung Dewo, Ketua MAC I Malang.
SLOGAN ‘Jangan Mengaku Kaya Sebelum Punya Motor Tua’ sudah mendarah daging diantara anggota Motor Antik Club Indonesia (MACI) Malang. Ungkapan tersebut bahkan seolah menjadi tantangan bagi mereka. Maklumlah, menjaga motor antik agar tetap sehat dan bisa menggilas jalanan memang bukan pekerjaan mudah.
Untuk memiliki motor antik tidaklah sesulit memepertahankan kuda besi itu agar tetap bisa “hidup”. Toni, pengendara motor buatan Inggris Matchless keluaran tahun terakhir 1966 mengakuinya. Pria berambut plontos ini mengaku bisa mendapatkan motor hitamnya itu dengan harga sekitar Rp 8,5 juta dalam bentuk potongan mesin ter-”mutilasi” berada dalam karung terpisah dengan kerangkanya.
Menariknya, dia memburu motor yang kemudian berubah nama menjadi Norton itu diantara reruntuhan gempa Jogjakarta pada tahun 2006 silam. ” Waktu itu masih tertutup debu dan berbentuk potongan mesin dalam karung. Saya butuh waktu hampir empat bulan untuk menghidupkan Matchless ini lagi,” ungkapnya kepada Malang Post kemarin.
Kejadian menarik juga dikatakan Andy pengendara NSU hitam keluaran tahun 1966. Banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk mempertahankan agar motor milik seorang Pastor di jaman Belanda dulu tetap mengeluarkan suara.
”Itu girnya sudah rusak, saya cari dari tiga minggu ini girnya tak bawa terus belum dapat juga. Rencananya mau cari di Klaten minggu depan,” kata Andy sambil menunjukkan gir roda belakang motornya yang disimpan dalam tas punggungnya.
Mahalnya biaya perawatan tentu juga berimbas pada mahalnya harga motor antik milik mereka. Tapi tidak semua pemilik motor rela melepaskan motor antiknya walaupun di tawar dengan harga berlipat dari harga pembelian.
Toni mengaku Matchless hitamnya sudah ada yang menawar hingga Rp 20 juta, sementara NSU Andy ada yang sudah ngenyang dengan harga Rp 25 juta. ” Wah ya tidak semata-mata harganya oke saya jual, motor antik ini karya seni. Kalau Fellnya tidak cocok ya tidak akan saya jual,” ujar Toni.
Sering-sering berkumpul dengan komunitas lain sangat memudahkan anggota MACI untuk mendapatkan formasi utamanya tentang keberadaan motor antik dan juga onderdil serta variasi asli dari motor mereka. Di Malang, jadwal MACI berkumpul dilakukan dua kali dalam seminggu. Pada Jumat malam dengan lokasi di depan Patung Butho Stasiun Kota Malang dan pada Minggu pagi di depan kantor Pendopo Kabupaten Malang disekitar Alun-Alun. ”Agenda tetap ada dua tiap minggu, untuk jamboree nasional ada setiap tahun. Kota Malang pernah jadi tuan rumah di tahun 2002 lalu,” lanjutnya.
Dewo menyebut anggotanya berjumlah ratusan sebab sekali tergabung menjadi anggota mereka enggan melepaskan keanggotaan karena tetap cinta dengan motor antik. Walaupun untuk memiliki motor antik ada satu syarat yang cukup berat, yakni mereka mengerti tentang motor mereka sendiri. ”Jika tidak mengerti motornya ya susah kalo mogok. Semua anggota MACI juga mekanik,” tandasnya. (dyah ayu pitaloka/nug)
BANYAK alasan unik mengapa anggota MACI Malang lebih memilih mengendarai motor tua mereka dibanding motor keluaran terbaru dengan harga yang relatif hampir sama.
Betapa tidak, rata-rata harga motor antik yang tidak berproduksi lagi berharga diatas Rp 20 juta, harga yang sama dengan sebuah motor sport 4 tak keluaran pabrikan Jepang saat ini. Tapi rasa kebanggaan yang berbeda menjadi pemikat bagi pemilik motor antik ketika mengendarai motor masing-masing.
Ugeng Waskito Dewo ketua MACI Malang mengaku ada rasa bangga yang berbeda ketika berada di atas motor Matchless tahun 1966 miliknya. Selain ukuran yang besar, pandangan mata kagum dari pengguna jalan sering mampir ke motor tuanya yang didapat dari Irian Jaya itu. ” Rasanya bangga banyak yang iri melihat motor saya,” kata pria yang akrab disapa Dewo ini.
Lain lagi dengan Supriadi, anggota MACI dengan rambut yang telah memutih ini mengaku motor Jawa keluaran tahun 1971 miliknya sudah banyak memakan tabungan hari tuanya. Supriadi mengaku habis-habisan untuk menghidupi motor produk negara yang kini sudah pecah Cekoslovakia agar tetap menggelinding di jalanan. ” Cari onderdilnya itu sangat susah, tapi lega ketika motor saya oke dijalan,” katanya terkekeh.
Walaupun berusia lanjut, motor milik MACI tidak bisa dipandang remeh. Setiap tahun anggota MACI Malang yang terbentuk di tahun 1994 ini harus mengikuti jamboree MACI Nasional yang lokasinya berpindah-pindah. Dari Jogjakarta, Bandung Jakarta bahkan Lampung sudah dijelajahi oleh roda-roda motor yang sudah pantas menjadi bagian dari sejarah masa lalu itu.
”Minggu depan kami sedang menyiapkan untuk pergi ke Klaten, kemudian tanggal 30 juga ada undangan dari MACI Bojonegoro. Kondisi motor harus selalu siap,” sambung Dewo, Ketua MAC I Malang.